Dahulu kala seorang keturunan Majapahit yang bernama Mbah Theruk adalah seorang garwa selir dari Kraton. Pada saat pembubaran Mbah Theruk menjadi seorang janda yang mempunyai dua putra yaitu Onggo dan Lotjo. Mbah Theruk atau Roro Resmi melarikan diri yang pada akhirnya berhenti di dusun Daguran lalu ke utara yaitu di Duren tepatnya di Kali Ndek. Pada saat di Duren, putra Onggo dan Lotjo berniat jalan-jalan ke gunung tepatnya di alas Wonosadi dengan membawa gejik untuk mencari srowotan ubi, ketela pohon, dan lain sebagainya.
Pada saat itu Onggo dan Lotjo berbincang-bincang dengan ibunya yaitu Roro Resmi untuk dicarikan pinjaman alat pertanian berupa cangkul, sabit, kapak dan sebagainya di dusun Duren. Dengan beberapa alat pertanian tersebut Onggo dan Lotjo akan membuat Badranan yang saat ini sering disebut Pesanggrahan. Pada saat membuat Badranan di alas Wonosadi, Onggo dan Lotjo berpesan kepada sang ibu untuk mengantar kiriman berupa makanan, pada saat dikirim oleh ibunya selama tiga hari, Onggo dan Lotjo kembali berpesan bahwa ingin dikirim oleh ibunya selama tujuh hari sekali saja. Hari ketujuh Roro Resmi kembali mengantar kiriman untuk kedua putranya, pada saat itu sang putra kembali berpesan kepada ibunya untuk dikirim makanan selama satu bulan sekali serta berpesan bahwa Onggo dan Lotjo sedang sesirih maka suatu saat pasti akan hilang mukswa, Roro Resmi tidak dapat melihat kedua putranya tetapi Onggo dan Lotjo tetap bisa melihat sang ibu. Pada saat itu Onggo dan Lotjo berpesan kepada Roro Resmi di saat mengantar kiriman diminta untuk ditempatkan di tunggak Ngenuman atau Wonosadi sebelah timur, Roro Resmi diminta untuk kembali muduk pulang ke Kali Ndek.
Roro Resmi kembali mengantar kiriman setelah satu bulan pesan dari putranya. Pada saat mengantar kiriman, Onggo dan Lotjo berbincang-bincang dengan ibunya bahwa mulai saat ini sampai turun-temurun beliau akan tetap membuka alas Wonosadi yang akan dijadikan peninggalan untuk warga sekitar desa Beji. Onggo dan Lotjo berpesan kepada ibunya agar warga sekitar memperingati tempat tersebut selama satu tahun sekali yang sampai saat ini akhirnya dilakukan warga setempat sebagai tradisi Sadranan dengan maksud mengingat, memperingati dan menjaga semua yang ada di alas Wonosadi serta sekitarnya. Nyadran dilakukan warga untuk mengingatkan kepada generasi penerus agar tanaman yang telah dijaga dan dirawat oleh Onggo Lotjo pada saat itu tidak rusak dan wajib untuk dijaga kelestariannya agar tetap hijau dan tumbuh subur di alas Wonosadi. Selain penghijauan yang wajib dijaga di desa Beji, sumber air yang berasal dari alas Wonosadi juga wajib dijaga kebersihannya agar tidak kotor karena sumber air dari alas Wonosadi tersebut dapat menghidupi warga desa Beji.
Pada saat tradisi bersih dusun yang biasanya menampilkan hiburan tayuban, beliau meminta untuk dinyanyikan lagu Jawa yang berjudul Ijo-ijo karena ingin selalu mengingatkan kepada warga sekitar agar Wonosadi dan desa Beji tetap hijau. Sampai saat ini lagu tersebut dijadikan lagu wajib untuk memulai setiap hiburan atau hajatan di seluruh desa Beji dimaksudkan untuk selalu mengingatkan kepada warga desa Beji untuk selalu menjaga alas Wonosadi agar tetap hijau dan sumber air tetap mengalir bersih dan sehat.
Sampai saat ini tradisi Sadranan dilakukan satu tahun sekali oleh seluruh warga desa Beji, sesajinya selalu ada krowotan karena mengingat pada zaman dahulu Onggo Lotjo dan Roro Resmi bisa makan dengan adanya krowotan. Pada saat prosesi tradisi Sadranan warga melakukan kenduri di Hutan adat Wonosadi dan Kali Ndek. Kenduri di tempat tersebut dimaksudkan untuk bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui keberadaan Roro Resmi Onggo dan Lotjo yang dahulu pernah membantu melestarikan penghijauan yang ada di desa Beji serta perairan yang cukup membantu warga sekitar demi kelangsungan hidup warga desa Beji. Dengan demikian kenduri Sadranan dimaksudkan untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan musrik menyembah benda yang ada di setiap petilasan.